Reshuffle Sri Mulyani Guncang Pasar, Daerah Tunggu Kepastian Anggaran

Saat Presiden Prabowo Subianto menggoyang struktur pemerintahan lewat penggantian mendadak Sri Mulyani Indrawati sebagai Menteri Keuangan dengan Purbaya Yudhi Sadewa, riak dampaknya bukan hanya dirasakan di pusat kekuasaan. Gelombang ini menimbulkan tekanan nyata di lapangan—terutama bagi daerah-daerah yang selama ini mengandalkan stabilitas fiskal untuk menuntaskan program pembangunan dan pelayanan publik.

Sri Mulyani dikenal luas sebagai pilar kredibilitas anggaran, arsitek reformasi pajak, dan figur yang mampu menyelamatkan Indonesia dari guncangan krisis global maupun pandemi. Kehadirannya dijadikan penyeimbang dalam menjaga defisit anggaran tetap terkendali, di tengah ambisi pembangunan besar pemerintah saat ini. Kepergiannya mengguncang pasar—IHSG merosot sekitar 1–1,3%, sementara pergerakan rupiah memperlihatkan ketidakstabilan. Investor kini gusar: apakah era pengeluaran publik yang lebih agresif akan menyusul?

Purbaya Yudhi Sadewa, pengganti Sri Mulyani, menjanjikan percepatan pertumbuhan ekonomi hingga 8%. Namun, saat ini keyakinan dan strategi konkret bagi daerah masih abu-abu. Ia menyatakan ingin memperkuat kebijakan yang sudah ada, bukan merombaknya total, dan memastikan program seperti “makan gratis untuk 80 juta rakyat” tetap lanjut—di samping target pertumbuhan tinggi yang dicanangkan pemerintah.

Bagi pemerintah daerah, ini adalah ujian besar. Daerah-daerah yang mendapat transfer rutin seperti Dana Alokasi Umum atau Dana Desa kini menghadapi ketidakpastian: akankah komitmen pusat tetap solid, ataukah aliran dana terganggu oleh penyesuaian kebijakan? Program prioritas seperti pembangunan infrastruktur desa, perluasan fasilitas kesehatan, dan bantuan sosial masyarakat rentan sangat tergantung pada kesinambungan anggaran pusat.

Selain itu, reformasi fiskal yang dibanggakan selama ini kini dipertanyakan—apakah pendekatan baru akan mengutamakan pertumbuhan cepat dengan mengurangi pengawasan, atau tetap menempatkan transparansi dan keberlanjutan sebagai pondasi? Sentimen ini diperkuat oleh sinyal publik pascademonstrasi sosial—yang menuntut pakaian legislatif yang lebih adil dan fasilitas publik yang efektif—bahwa rakyat kini menuntut konkret, bukan sekadar ambisi ekonomi.

Jika reformasi ini dilaksanakan dengan pendekatan inklusif dan transparan, kansnya besar untuk memperkuat pembangunan daerah: belanja publik akan lebih lancar, proyek desa bisa dijalankan efektif, dan investasi di wilayah tak lagi tergantung hanya pada inisiatif lokal. Namun, tanpa kepastian kebijakan yang jelas, risiko ketimpangan pembangunan dan gangguan kepercayaan daerah sangat nyata.

Singkat kata, reshuffle ini tak sekadar mengganti wajah pimpinan Kementerian Keuangan. Ini adalah momen penting yang bisa menjadi titik balik bagi pemerataan pembangunan, atau malah memperlebar kesenjangan di daerah. Masa depan fiskal dan pelayanan publik kita kini bergantung pada seberapa cepat dan tegas sinyal baru ini diterjemahkan hingga ke tingkat desa.


Leave a Comment