KDM Ingatkan di HUT Karawang Bahwa Kesenjangan Bisa Memicu Konflik Sosial

Pada momen peringatan Hari Jadi Karawang ke-392 (14/09/2025), Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, atau yang biasa dipanggil KDM, menyuarakan satu isu yang sudah lama jadi bisikan masyarakat: kesenjangan sosial yang dipicu oleh distribusi pembangunan yang tidak merata antar wilayah di Kabupaten Karawang. Hal itu disampaikan KDM dalam pidatonya di hadapan para pejabat Pemerintah Daerah Karawang dalam memperingati HUT Karawang ke 392 di Gedung DPRD.

Menurut KDM, kesenjangan ini bukan semata soal ekonomi, tapi juga menyentuh akses publik dan layanan dasar—jalan, air bersih, pelayanan kesehatan, pendidikan—yang bagi banyak desa masih jauh dari kata layak.

KDM menegaskan bahwa ketika warga merasa “tertinggal” dari tetangganya, rasa ketidakadilan yang dipelihara selama bertahun-tahun bisa berubah menjadi konflik sosial, bahkan gesekan lokal.

Karawang, sebagai satu kabupaten dengan pertumbuhan industri yang cukup tinggi, memang mencatat capaian ekonomi yang menjanjikan: banyak investasi masuk, kawasan industri berkembang, lapangan kerja muncul. Tapi data menunjukkan bahwa pertumbuhan bukanlah jaminan bahwa semua wilayah mendapatkan manfaat yang sama. Desa-desa di pinggiran, khususnya di kecamatan yang paling jauh dari pusat pemerintahan atau infrastruktur transportasi layak, masih mengalami keterbatasan akses. Jalan desa yang rusak parah, jaringan air bersih yang belum menjangkau seluruh rumah tangga, sekolah yang kekurangan ruang kelas dan tenaga pengajar, serta fasilitas kesehatan dasar yang masih minim—semua itu jadi bagian dari realitas sehari-hari.

Sebagai gambaran, menurut data dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Karawang, tingkat pengangguran terbuka di kabupaten ini berada di kisaran 8-9 persen pada beberapa periode terakhir, terutama dipengaruhi oleh pemuda di area pedesaan yang tidak memiliki akses pelatihan vokasi atau kapasitas digital yang setara.

Distribusi infrastruktur publik pun mencerminkan jurang perbedaan: desa-desa di sisi selatan atau barat yang dekat dengan pusat industri memiliki jalan cor atau aspal, lampu jalan lengkap, fasilitas kebersihan, sementara wilayah utara atau yang berbatasan langsung dengan daerah perkotaan atau industri besar justru sering mengalami keterlambatan pembangunan.

KDM dalam pidatonya pada hari jadi menyampaikan bahwa ketidakmerataan ini bukan sekadar soal fisik atau material, tapi soal rasa: rasa bahwa pelayanan dan perhatian pemerintah pusat dan daerah kadang “lupa” pada desa-desa yang letaknya jauh. Rasa lengah ini bila terus dibiarkan bisa jadi bibit konflik—protes warga atas janji yang tak terpenuhi, persaingan antar desa dalam mendapat alokasi anggaran, atau ketidakpuasan publik atas distribusi layanan kesehatan dan pendidikan. Konflik ini, walau kecil, adalah alarm bahwa kebijakan yang tidak inklusif bisa memicu disintegrasi sosial di tingkat lokal.

Solusi yang ditawarkan KDM bukan hanya retorika.

Ada ajakan agar pemerintah daerah membuat peta kesenjangan secara detail: wilayah mana saja yang paling kekurangan infrastruktur dasar, lembaga pendidikan, fasilitas kesehatan, akses transportasi, dan juga koneksi digital.

Penting bahwa data ini menjadi dasar penetapan prioritas anggaran daerah. Misalnya, alokasi Dana Desanya (DD) dan Alokasi Dana Provinsi perlu diarahkan ke desa-desa dengan skor deficit pelayanan paling besar. Disamping itu, perlunya sistem evaluasi publik dan transparansi agar warga bisa menilai sendiri apakah alokasi sudah tepat sasaran.

Pemerintah Kabupaten Karawang sendiri dalam beberapa tahun terakhir telah meluncurkan program-program yang mencoba merespons keluhan ini: pembangunan jalan desa, program penerangan jalan umum, air bersih untuk desa terpencil, dan integrasi pelayanan administrasi publik melalui mobile service. Namun, masyarakat masih mencatat bahwa kecepatan dan cakupan program tersebut kadang belum memadai. Ada desa yang sudah lama menunggu jalan diperbaiki atau puskesmas yang kekurangan tenaga dokter dan perawat, sehingga rujukan ke fasilitas di kecamatan atau kota masih menjadi rutinitas. Biaya transportasi dan waktu tempuh ke fasilitas layanan tambah menjadi beban bagi warga yang lokasi fisiknya jauh.

Karenanya, Hari Jadi Karawang ini diharapkan tidak sekadar seremoni, tapi jadi momentum evaluasi mendalam. Harus ada komitmen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Karawang agar pembangunan non-industri lebih diperhatikan, agar pemerataan pembangunan bukan hanya slogan.

Jika pemerintah mampu menggabungkan perencanaan yang berbasis data, alokasi anggaran yang responsif kebutuhan lokal, dan partisipasi masyarakat dalam pengawasan, maka perasaan “tertinggal” bisa memudar, dan konflik sosial yang kemungkinan muncul bisa diredam sejak akar. Karawang bisa menjadi contoh bagaimana kabupaten dengan pertumbuhan ekonomi tinggi sekalipun tetap menjaga keseimbangan dan keadilan bagi seluruh warganya.

Leave a Comment