GMPI Cirebon Harap Korupsi Gedung Setda Jadi Momentum Tegakkan Transparansi dan Keadilan

CIREBON, 9 September 2025 — Penetapan mantan Wali Kota Cirebon, Nashrudin Azis, sebagai tersangka kasus korupsi pembangunan Gedung Sekretariat Daerah (Setda) menyoroti kembali betapa rapuhnya sistem pengelolaan anggaran publik jika integritas tak dijaga. Dugaan tindakan penandatanganan berita acara serah terima penyelesaian pekerjaan yang belum tuntas pada November 2018 memicu kerugian negara sebesar Rp26 miliar—menjadi momok bagi kepercayaan publik terhadap pemerintah.

Bangunan delapan lantai yang dibiayai APBD senilai Rp86 miliar kini menjadi simbol kegagalan pengawasan, bukan peningkatan layanan publik.

Timeline Kasus Gedung Setda Cirebon

  • 2018 – Proyek dimulai, dana APBD sekitar Rp86 miliar.
  • 19 November 2018 – Penandatanganan dokumen serah terima meski pekerjaan masih belum selesai.
  • 2019–2023 – Audit BPK: temukan kerugian negara Rp26 miliar.
  • 2024 – Penyidikan dimulai, sejumlah saksi dipanggil.
  • September 2025 – Nashrudin Azis resmi ditetapkan tersangka dan ditahan di Rutan Kelas I Cirebon.

Publik merespons kasus ini dengan kekecewaan mendalam—mereka menganggap pembangunan gedung megah seharusnya menjadi simbol pelayanan, bukan praktik korup yang merusak fondasi keuangan daerah. DPRD pun menyuarakan penguatan pengawasan internal atas proyek—terutama yang menggunakan anggaran besar.

Suwarno, aktivis Ormas GMPI Cirebon, menyampaikan pesan tegas:

“Korupsi Gedung Setda bukan sekadar soal salah urus anggaran, tapi penghianatan terhadap hak rakyat. Uang yang seharusnya untuk pendidikan, kesehatan, dan pembangunan justru dipakai dengan cara curang. Rakyat Cirebon berhak mendapatkan pelayanan yang nyata, bukan janji kosong di balik beton. Transparansi sejak awal—mulai perencanaan, lelang, hingga realisasi—harus jadi norma, bukan sekadar retorika.”

Ia menambahkan:

“Proses hukum harus berjalan adil dan menyeluruh. Jika ada pejabat lain, kontraktor, atau pengawas yang terlibat, semuanya harus dimintai pertanggungjawaban. Hukum harus tajam ke atas dan ke bawah. Publik akan terus menagih keadilan ini.”

Bukan Kasus Tunggal: Pola Korupsi Infrastruktur di Jawa Barat

Kasus ini menjadi mikrokosmos dari pola yang berulang di Jawa Barat:

  • Subang (2023): Dugaan korupsi proyek jalan dengan kerugian Rp7 miliar.
  • Bandung Barat (2022): Eks Bupati Aa Umbara divonis akibat suap proyek infrastruktur dan bansos.
  • Cimahi (2020): Wali Kota Ajay Muhammad Priatna ditangkap KPK atas suap pembangunan rumah sakit.

Sementara korupsi terjadi, Pemprov Jawa Barat justru menaikkan belanja modal secara drastis dalam APBD Perubahan 2025—dari Rp1,77 triliun menjadi Rp4,83 triliun, lonjakan hampir 173%. Anggaran ini memperluas jangkauan pembangunan jalan, jembatan, ruang kelas baru, fasilitas kesehatan, dan transportasi publik. Khusus untuk infrastruktur jalan saja, dialokasikan hingga Rp2,4 triliun—tiga kali lipat dari sebelumnya.

Namun, lonjakan anggaran bukan jaminan pembangunan berkualitas jika praktik koruptif dibiarkan. Realisme dana besar mesti diimbangi dengan kontrol ketat dan penegakan hukum yang adil agar manfaatnya benar-benar dirasakan publik.

Kasus Gedung Setda Cirebon merupakan alarm keras bahwa pembangunan tanpa integritas hanya akan menjadi simbol kegagalan demokrasi anggaran. Suara masyarakat sipil, seperti Suwarno dari GMPI, adalah pengingat bahwa publik menuntut transparansi dan keadilan sejati. Dengan dukungan DPRD dan kesiapan aparat hukum, harapannya kasus ini bisa menjadi momentum reformasi anggaran di Jawa Barat—dari sekadar evaluasi, menjadi transformasi sistem yang melindungi uang rakyat.

Leave a Comment